Jumat, 08 Februari 2019 11:17 WIB
YOGYAKARTA (wartablora.com)—Hasil survai nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018 menunjukkan tingginya tingkat opini intolerasi guru-guru di Yogyakarta. Temuan ini dikatakan Plt. Kepala kantor wilayah kementerian agama DIY, Drs H Edhi Gunawan MPdI, bisa menyebabkan kurang diajaknya murid-murid, mulai Raudaltul Athfal (setingkat TK) hingga Madrasah Aliyah (setingkat SMA) ke lingkungan yang heterogen. Murid-murid ini cenderung diajak bergaul di lingkungan yang homogen, sehingga tidak pernah bertemu dengan murid nonmuslim. Pada akhirnya murid-murid ini tidak terbiasa berkomunikasi, dan cenderung dapat memancing intoleransi kelak di kemudian hari.
"Bahkan kecenderungannya mereka juga tinggal di lingkungan muslim, bukan masyarakat majemuk. Karena itu sesuai arahan Menag RI, kami akan memperbanyak program yang memberikan pengalaman bagi guru terkait kemajemukan dan keberagaman. Termasuk juga mensosialisasikan moderasi agama," katanya, seperti dikutip dari teras.id, Jumat (8/2/2019).
Sebelumnya, dalam Seminar Diseminasi Hasil Survei Nasional PPIM UIN Jakarta mengangkat tema Ada Opini Radikal di Antara Guru yang Toleran? di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (7/2/2019), dipaparkan ada hampir 60 persen guru-guru di Yogyakarta memiliki kecenderungan bersikap intoleransi. Temuan ini selisih sedikit di atas hasil survai secara nasional yang menemukan adanya lebih 57 persen guru-guru memiliki sikap intoleransi.
"Untuk DIY dengan jumlah guru muslim yang disurvei sebanyak 32 orang, baik dari guru sekolah maupun madrasah mulai level TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA. Hasilnya menunjukkan bahwa opini intoleran sebesar 59,38 persen. Hal ini hampir sama dengan persentase secara nasional sebesar 57,03 persen," terang Koordinator Survei Nasional PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20182018 Dr Yunita Faela Nisa PSi.
Yunita berharap dengan diseminasi temuan ini diharapkan dapat mencari solusi bersama untuk bisa berbuat lebih dalam mengatasi kondisi yang mengkhawatirkan tersebut.
"Ada opini intoleransi dan opini radikal guru di semua level pendidikan secara nasional yang angkanya cukup tinggi. Hanya saja pandangan tentang hal tersebut berbeda-beda. Untuk DIY misalnya, sebanyak 59,38 persen guru memiliki opini yang mendukung berdirinya Negara Islam. Meski demikian, pandangan tentang dukungan pendirian Negara Islam memiliki spektrum yang bervariasi," sambung Yunita.
Dikatakannya pula, ada spektrum pemahaman misalnya saja ketika anak didik menjalin hubungan dengan kelompok yang berbeda keyakinan, dikhawatirkan akidahnya akan luntur. Kondisi ini khususnya terjadi pada guru yang mengajar di jenjang lebih rendah, seperti TK atau SD. (*)